Selasa, 20 Maret 2012

Pengembangan JDI Hukum di Sukoharjo

PENINGKATAN DAN  PENGEMBANGAN
JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI (JDI) HUKUM
KABUPATEN SUKOHARJO

 I.                   PENDAHULUAN

Kebutuhan akan  informasi hukum secara mudah, cepat, lengkap dan akurat dalam upaya peningkatan pemahaman dan pengetahuan mengenai hukum serta pembangunan di bidang hukum merupakan satu kebutuhan dalam era global saat ini, untuk itu harus dibarengi dengan pengelolaan Dokumentasi dan Informasi Hukum yang optimal, terencana dan berkesinambungan.

Jaringan Dokumentasi dan Informasi (JDI) Hukum, merupakan sarana dan prasarana hukum yang sangat penting, yang diharapkan mampu memberikan Informasi Hukum kepada aparatur pemerintah maupun masyarakat.

Apabila seluruh masyarakat dengan mudah memperoleh data, dokumen dan informasi hukum yang dibutuhkan, barulah akan tercapai keterbukaan, demokrasi dan kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi penegakan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.


II.                DASAR HUKUM

Dasar pelakasanaan kegiatan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Kabupaten Sukoharjo adalah:

1.  Keputusan Presiden Nomor 91 Tahun 1999 tentang Jaringan Dokumentasi dan Informaasi Hukum Nasional;
2.  Keputusan Bupati Sukoharjo Nomor  35 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Jaringan Dokumentasi dan Informasi (JDI) Hukum di Kabupaten Sukoharjo. Yang telah beberapa kali diganti, terakhir  dengan Peraturan Bupati Sukoharjo Nomor  8 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Jaringan Dokumentasi dan Informasi (JDI) Hukum di Kabupaten Sukoharjo.


III.             PENGERTIAN JDI  HUKUM

Jaringan Dokumentasi dan Informasi (JDI) Hukum  adalah suatu sistem pendayagunaan bersama peraturan perundang-undangan dan bahan dokumentasi hukum lainnya secara tertib, terpadu dan berkesinambungan serta merupakan sarana pemberian pelayanan informasi hukum secara mudah, cepat dan akurat.

IV.            MAKSUD DAN TUJUAN JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI  (JDI) HUKUM

Maksud dilaksanakannya JDI Hukum adalah:
1.  Agar tersedia bahan dokumentasi hukum yang lengkap dan akurat, sehingga penetapan produk hukum dan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara tidak keliru atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga memenuhi rasa keadilan pada masyarakat.
2. Agar mampu menunjang kelancaran tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, dengan cara memanfaatkan secara optimal dokumentasi hukum yang ada.


Tujuan JDI Hukum adalah:
Tertatanya bahan dokumentasi hukum secara tertib dan teratur sehingga mampu menyediakan bahan informasi hukum secara tepat, cepat, lengkap dan akurat yang akan menunjang kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.


V.               TUGAS POKOK DAN FUNGSI  JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI   (JDI) HUKUM.

Tugas Pokok JDI Hukum.
Menata bahan dokumentasi hukum secara tertib dan teratur dengan cara mengelompokkan kedalam klasifikasi menurut jenis dokumentasi dan macam informasi hukum sehingga mampu menunjang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.


Fungsi JDI Hukum adalah:
1.    Sebagai salah satu upaya penyediaan sarana pembangunan bidang hukum;
2.    Untuk meningkatkan penyebarluasan dan pemahaman pengetahuan hukum;
3.    Untuk memudahkan pencarian dan penelusuran peraturan perundang-undangan dan bahan dokumentasi hukum lainnya.
4.    Untuk meningkatkan pemberian pelayanan pelaksanaan penegakan hukum dan kepastian hukum;

Kegiatan yang dilakukan JDI Hukum:
1.    Menyimpan hasil kegiatan pembangunan hukum;
2. Melakukan pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyebaranluasan bahan hukum;
3.    Membantu pejabat dalam mengambil keputusan;
4.    Menyediakan fasilitas untuk mendalami dan memanfaatkan pengetahuan hukum melalui perpustakaan hukum;
5.    Membantu dalam perencanaan hukum dan perancangan peraturan perundang-undangan, peneliti hukum, profesi hukum, penyuluhan hukum, pendidikan hukum serta membantu kelancaran tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan.
6.    Membantu masyarakat agar dengan mudah dapat memperoleh informasi hukum.


E. PELASANAAN JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI  HUKUM DI   KABUAPATEN SUKOHARJO
         
     Dalam menangani Jaringan Dokumentasi (JDI) Hukum Pemerintah Kabupaten Sukoharjo berupaya dengan sungguh- sungguh untuk terciptanya sistem jaringan hukum agar dapat mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan dalam hal ini Pusat Jaringan Kabupaten Sukoharjo telah mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
    
1.    Penyusunan Program Kegiatan
Sekretariat Daerah Kabupaten Sukoharjo cq Bagian Hukum sebagai Pusat Sistem Jaringan Dokumentasi (JDI) Hukum Kabupaten telah menyusun Program Jangka Panjang dan Program Jangka Pendek.

a.     Program Jangka Panjang  :
1)    Meningkatkan upaya  pembaharuan hukum untuk dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
2)    Klasifikasi dan Unifikasi bidang hukum tertentu.
3) Penyusunan Perundang-undangan Daerah baru yang dibutuhkan.

b.    Program Jangka Pendek :
1)    Pemantapan pelaksanaan tugas dan fungsi JDI Hukum.
2)    Pembinaan anggota Unit Penunjang Jaringan yang telah ada.
3)    Pelayanan jasa informasi hukum

2.    Peningkatan sarana dan prasarana.

Teknis dokumentasi hukum yang dikembangkan harus didukung dengan sarana dan prasarana yang memadahi meliputi:
a.     Menambah /melengkapi koleksi buku-buku hukum dan himpunan peraturan perundang-undangan.
b.    Menambah/melengkapi  sarana ruangan antara lain almari, rak buku, komputer, hal ini yang menentukan peningkatan pelaksanaan jaringan dokumentasi dan informasi hukum.
c.     Pengolahan peraturan anatara lain:
1)    buku induk;
2)    inventarisasi peraturan;
3)    klasifikasi peraturan;
4)    pembuatan tabel penunjuk peraturan perundang-undangan.

3.    Penyebarluasan informasi hukum meliputi:
a.     Pembuatan informasi peraturan perundang-undangan.
b.    Penggandaan peraturan perundang-undangan yang perlu disebarluaskan ke Unit Penunjang Jaringan.

4.    penataan organisasi pengelola JDI Hukum.
Jaringan  dokumentasi dan informasi hukum bukan merupakan organisasi struktural tetapi merupakan wadah dari suatu kegiatan pengumpulan, pengolahan, penyebarluasan dan penyimpanan serta pemeliharaan bahan-bahan hukum, sehingga dalam aspek ini harus jelas pertelaan tugasnya dan disesuaikan dengan fungsinya tersebut.
Meskipun bukan merupakan suatu organisasi setruktural,  kegiatan ini memerlukan dukungan baik perhatian pimpinan maupun sarana dan prasarana dan untuk lebih meningkatkan kegiatan ini diperlukan adanya landasan hukum dari pimpinan Unit Kerja.

Susunan Organisasi Jaringan Dokumentasi Hukum  Pemerintah Kabupaten   terdiri dari:
a.     Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (PJDIH) adalah Sekretariat Daerah Kabupaten  cq Bagian Hukum.
b.    Anggota Unit Penunjang Jaringan (UPJ) terdiri dari:
1)    Dinas Daerah Kabupaten;
2)    Badan Daerah Kabupaten;
3)    Unit Pelaksana Teknis Daerah Kabupaten;
4)    Dinas/Kantor Vertikal;
5)    Bagian Sekretariat Daerah Kabupaten;
6)    Kantor Kecamatan lingkup Kabupaten; dan
7)    Kantor Desa/Kelurahan.


Pusat Jaringan Dokumentasi Hukum mempunyai tugas:
a.     Mengatur dan menyelenggarakan Dokumentasi dan Informsi Hukum dalam arti menghimpun dan menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan.
b.    Membina UPJ dalam rangka menyelenggarakan Dokumentasi Hukum dan Informasi Hukum.
c.     Mengkoordinasikan Unit-unit Penunjang Jaringan  dalam pembangunan dan pengembangan Dokumentasi Hukum.

Unit Penunjang Jaringan mempunyai tugas :
a.     Mengatur dan menyelenggarakan Dokumentasi Hukum pada instansinya  masing-masing sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan.
b.    Memberikan informasi/menyebarluaskan Dokumentasi yang ada dan setiap Peraturan Perundangan-undangan yang baru diterima kepada PJDI dan Anggota UPJ yang lain.

5.    Peningkatan SDM.

Personalia atau sumber daya manusia di bidang dokumentasi dan informasi hukum merupakan faktor yang menentukan oleh karena itu peningkatan kemampuan tenaga harus selalu dilakukan baik di Pusat Jaringan maupun Anggota Jaringan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, hal ini telah dilakukan dengan mengadakan beberapa kegiatan:
a.     Pertemuan berkala secara teratur antara Pusat Jaringan dengan Anggota Unit Penunjang Jaringan berupa rapat koordinasi.
b.    Memberikan keterangan, petunjuk, bimbingan langsung kepada petugan pengelola JDI pada Unit Penunjang Jaringan dalam rangka kerjasama  jaringan.

VI.            PERMASALAHAN.

Dalam pembangunan  Jaringan Dokumentasi dan Informasi (JDI) Hukum agar mampu menunjang pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara berdaya guna dan berhasil guna masih jauh dari harapan, hal ini disebabkan berbagai kendala yaitu:
a.      Belum memasyarakatnya Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.
b.      Kurangnya perhatian dari Pimpinan Satuan Kerja terhadap kegiatan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.
c.      Kurangnya tenaga yang berminat bekerja di Dokumentasi dan Informasi Hukum.
d.      Kurangnya sarana, prasarana dan dana dalam mendukung kegiatan  Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.
e.      Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap arti pentingnya bahan  Dokumentasi dan Informasi Hukum.
f.        Kerjasama antara Unit Penunjang Jaringan kurang berkembang.

VII.         PENUTUP

Dokumentasi dan Informasi Hukum memegang peranan penting bagi setiap satuan Kerja dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, untuk itu dkumentasi dan inormasi hukum perlu dikelola seoptimal mungkin sehingga dapat memberikan informasi hukum yang cepat, tepat dan akurat.
         

Jumat, 16 Maret 2012

MEMAHAMI MAKNA STRUKTUR ORGANISASI

MEMAHAMI MAKNA STRUKTUR ORGANISASI

Dalam suatu organisasi baik organisasi publik/pemerintah maupun organisasi Non Pemerintah (NGO) kita tak asing lagi dengan struktur organisasi atau bagan struktur organisasi. Secara visual Bagan struktur organisasi hanya berupa gambar kotak yang dihubungkan dengan garis-garis. Bagan struktur organisasi menggambarkan alur komando/perintah, alur koordinasi dan kerjasamaa, alur tanggung jawab, dan pembagian tugas dan wewenang dari tiap unit kerja atau sub unit yang ada dalam suatu organisasi.

1. Komando/perintah, koordinasi, dan kerjasama.
          Dalam bagan struktur organisasi terdapat dua garis yang mengubungkan antar unti kerja atau sub unit kerja yang ada di dalam organisasi. Yang pertama adalah garis komando/perintah yang menunjukkan alur komando/perintah yang mengalir dari pimpinan organisasi kepada unit di bawahnya sampai ke unit terendah dalam organisasi. Dalam hal ini komando/perintah “mengalir ke bawah”, artinya bahwa setiap pimpinan organisasi hanya dapat memerintah unit organisasi di bawahnya,  tidak kesamping. Inilah yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah “kesatuan komando (Unity of Command)”.  Garis yang kedua adalah “garis koordinasi”, yang menunjukkan hubungan kerja atau koordinasi antar unit atau sub unit organisasi yang ada.
Koordinasi dimaksudkan agar terjadi harmonisasi kegiatan antar  unit kerja. Hal ini menjadi penting karena tiap unit kerja melaksanakan spesialisasi tugas masing-masing.
Kerjasama harus dilakukan kerena tiap unit kerja tidak dapat bekerja sendiri. Kerjasama tidak harus dipahami sebagai bentuk bantuan untuk “bekerja bersama-sama” misalnya hari ini bersama-sama bekerja di unit A, besok bersama-sama di unit B dan seterusnya. Kerjasama dapat dialakukan dengan memberi kesempatan unit kerja yang lain untuk memanfaatkan apa yang telah dihasilkan oleh suatu unit kerja. Suatu unit kerja melakukan tugasnya dengan baik dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh unit kerja yang lain juga merupakan bentuk kerjasama dalam organisasi.

2. Tanggung jawab.
          Bila kita melihat bagan struktur organisasi kita akan melihat kotak kotak yang bertuliskan jabatan/unit kerja. Kotak yang paling atas menggambarkan kedudukan yang tertinggi dalam suatu organisasi, dialah orang yang paling bertanggungjawab terhadap organisasi atau seluruh unit kerja yang ada dalam organisasi.  Demikian juga jabatan di bawahnya bertanggung jawab  pula terhadap unit organisasi yang ada di bawahnya.
Yang perlu dipahami dalam hal “tanggung jawab” adalah  apa  yang dilakukan oleh sub unit organisasi merupakan tanggung jawab unit organisai di atasnya. Jadi ketika terjadi permasalahan misalmya kesalahan kerja, yang paling bertangung jawab adalah pimpinan unit organisasi di atasnya dan mengalir ke atas sampai dengan pimpinan puncak (Top Manager) di organisasi tersebut.

3. Pembagian tugas.
          Prinsip dasar suatu organisasi dibentuk adalah untuk melaksanakan tugas atau urusan tertentu. Suatu tugas atau urusan dapat bersifat kompleks dapat pula bersifat sederhana, inilah yang menentukan besar kecilnya suatu organisasi. Semakin kompeks tugas atau urusan yang ditangani, biasana semakin besar struktur organisasi tersebut, sebaliknya bila urusan atau tugas yang dilakukan seserhana biasanya struktur organisasinya kecil.
          Struktur organisasi juga menggamabarkan pembagian tugas/urusan. Pembagian tugas/urusan dapat dikatakan juga sebagai spesialisasi tugas/urusan, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja dari tiap unit organisasi (spesialisasi kerja) sehingga tujuan utama dari organisasi dapat tercapai. Pembagain kerja bukan berarti masing masing unit kerja berdiri sendiri-sendiri namun harus dipahami sebagai bagian yang menyatu dalam suatu organisasi.
          Ada beberapa dasar yang digunakan organisasi dalam melakukan pembagian kerja atau sepsialisasi. pembagian kerja dalam organisasi.

1.     Berdasarkan alur kerja.
Dalam hal ini pembagaian tugas dilakuakan mendasarkan proses alur kerja atau proses kerja dari hulu sampai hilir atau dari input sampai output. Sebagai contoh:
Sebuah Bagian dalam suatu perusahaan membawahkan 3 Sub Bagian, yaitu:
Sub Bagian Bahan Baku,
Sub Bagian Produksi;
Sub Bagian Penjualan
Bagian produksi dari industri garmen, yang membawahkan:
Sub Bagian Bahan
Sub Bagian Pemotongan;
Sub Bagian Penjahitan;
Sub Bagian Pengepakan.

2. Berdasarkan pembagian wilayah.
Dalam hal ini tugas dibagi berdasarkan wilayah kerja. Pembagian tugas seperti ini sering dilakukan dalam organisasi yang tugasanya spesifik dan  tidak bisa dipisah berdasarkan proses atau alur kerja seperti auditor atau pemeriksa. Setiap orang melakukan kegiatan dari proses awal sampai akhir, dan mereka menguasai secara mendalam semua proses yang harus dikerjkan. 
Contoh:
Dalam Organisasi BPK, yang membawahkan BPK Wilayah I, BPK Wilayah II, BPK Wilayah III, dan seterusnya.
Dalam Organisasi Inspektorat, yang membawahkan Ispektor Pembantu Wilayah I, Ispektor Pembantu Wilayah II, dan Ispektor Pembantu Wilayah III.

3. Campuran.
Dalam hal ini tugas dibagai secara kombinasi antara mendasarkan alur kerja atau proses kerja berdasarkan wilayah kerja. Pembagain kerja seperti ini sering dijumpai dalam organisasi yang besar dan komplek seperti departemen/kementerian.

Makna dari pembagian kerja adalah untuk optimalisasi kinerja organisasi, namun dalam praktiknya terjadi sikap acuh tak acuh atau tak mau tahu dengan mata rantai atau unit kerja yang lain, semua sibuk dengan tugasnya sendiri dengan rencananya sendiri tak ambil pusing dampaknya terhadap unit kerja yang lain, bahkan mungkin bisa terjadi persaingan antar unit terutama dalam alokasi sumber daya, dan merasa yang satu lebih penting dari yang lain.

Jumat, 02 Maret 2012

BAGAIMANA MENINDAKLANJUTI HASIL KLARIFIKASI PERDA?

BAGAIMANA MENINDAKLANJUTI  HASIL  KLARIFIKASI  PERDA?


  1. PENGERTIAN KLARIFIKASI.
 Klarifikasi merupakan bagaian dari “pengawasan” peraturan daerah, hal ini ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam bagian kedua Pengawasan Perda dan Perkada Pasal 37 antara lain disebutkan:
a.       Perda dan Perkada disampaikan kepada Pemerintah paling lama tujuh hari sejak ditetapkan;
b.       Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Perda dan Perkada;
c.       Pelaksanaan sebagainana dimaksud huruf a dilakukan oleh menteri;
d.  Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yanglebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan menteri.
e.      Perkada yang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan perundang-undangan yanglebih tinggi dapat dinatalkan dengan Peraturan Menteri.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah Pasal1 Nomor 17, Klarifikasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap Perda dan Perkada untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umumdan/atau peraturan yang lebih tinggi.


  1. PROSEDUR KLARIFIKASI.

Prosedur Klarifikasi Perda/Perkada berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah).
a.    Bupati/Walikota menyampaikan Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota kepada Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal palaing lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi. Pasal  73 ayat (2)
b.      Hasil klarifikasi Perda Kabupaten/Kota dapat berupa:
1). Hasil klarifikasi yg sudah sesuai dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi;
2).  Hasil klarifikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Pasal 78 ayat (2);
c.     Sekretaris Daerah Provinsi atas nama Gubernur menerbitkan surat kepada Bupati/Walikota yang berisi rekomendasi agar pemerintah daerah melakukan penyempurnaan Perda dan/atau Pncabutan Perda  Pasal 79 ayat (2);
d.   Dalam hal pemerintah daerah Kabupaten/Kota tidak melaksanakan hasil klarifikasi, Gubernur melalui Menteri Dalam Negeri mengusulkan kepada Presiden untuk pembatalan. Pasal 79 ayat (3).

  1. TINDAK LANJUT KLARIFIKASI.
Dalam Pasal 79 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Sekretaris Daerah Provinsi atas nama Gubernur menerbitkan surat kepada Bupati/Walikota yang berisi rekomendasi agar pemerintah daerah melakukan penyempurnaan Perda dan/atau Pencabutan Perda.
 
  1. PERMASALAHAN.
Dari tindak lanjut hasil klarifikasi hanya disebutkan ”melakukan penyempurnaan Perda dan/atau Pencabutan Perda”. Tidak ada penjelasan terhadap frasa “melakukan penyempurnaan perda”, sehingga terjadi multi tafsir terhadap frasa tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara ”menyempurnakan perda” untuk disesuaikan dengan hasil klarifikasi?.

  1. PEMECAHAN MASALAH.
Secara bebas frasa ”melakukan penyempurnaan Perda” dapat ditafsirkan dengan: merubah redaksional perda dengan menyesuaiakan hasil klarifikasi. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah apakah bebar cukup demikian?

Untuk dapat menjawab perlu kita runut beberapa hal yang terkait dengan berlakunya suatu Perda, sebagai berikut.
a.   Bahwa  Perda dikirim kepada  kepada Gubernur dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal palaing lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan untuk mendapatkan klarifikasi.   
b.    Bahwa Perda yang dikirim tersebut dalam posisi sudah diundangkan, berarti Perda tersebut sudah berlaku. Karena pada dasarnya peraturan perundang-undangan mulai berlaku pada saat Peraturan Perundang-undangan tersebut diundangkan (Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, lampiaran no.150); Kecuali untuk  Perda tentang Pajak, Retribusi, dan Tata Ruang, dikirim untuk evaluasi sebelum perda tersebut diberlakukukan.

Dalam prakteknya hasil klarifikasi dari Gubernur berisi rekomendasi untuk melakukan penyempurnaan terhadap materi Perda. Dalam hal ini yang disempurnakan adalah Perda yang sudah sah berlaku dan diundangkan, bukan raperda.

Sehingga menurut hemat penulis bahwa suatu produk hukum ketika sudah sah berlaku atau sudah diundangkan, ketika akan diadakan penyempurnaan harus dilakukan melalui mekanisme perubahan produk hukum tersebut. Jadi penyempurnaan perda untuk menyesuaikan hasil klarifikasi tidak cukup hanya merubah redaksional mendasarkan hasil klarifikasi.

  1. KESIMPULAN.
Pada dasarnya peraturan perundang-undangan mulai berlaku pada saat Peraturan Perundang-undangan tersebut diundangkan (Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, lampiaran no.150).

Bahwa Perda yang dikirim ke Gubernur adalah sudah berlaku, punya kekuatan hukum mengikat karena sudah diundangkan. Dan suatu produk hukum ketika sudah sah berlaku atau sudah diundangkan, ketika akan diadakan penyempurnaan harus dilakukan melalui mekanisme perubahan perda tersebut. Jadi penyempurnaan perda untuk menyesuaikan hasil klarifikasi tidak cukup hanya merubah redaksional mendasarkan hasil klarifikasi.

  1. SARAN.
Untuk menghindari hasil klarifikasi agar tidak ada rekomendasi lagi untuk membenahi Perda maka, perlu konsultasi dan koordinasi yang intensifif dengan stake horlder yang punya kewenangan untuk memberikan rekomendasi hasil klarifikasi,  pada saat draf raperda disusun dan atau dibahas. Sehingga  pada saar klarifikasi tidak ada lagi hal-hal yang direkomendasikan.

Smoga bermanfaat.

Kamis, 01 Maret 2012

MEMBENTUK BADAN USAHA MILIK DESA


PEMBENTUKAN DAN PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA


BAB I.PENDAHULUAN

Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pembentukan Dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa ini dibentuk berpedoman pada Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan berpedoman pada Pasal 81 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.

Bahwa pembentukan dan mengelalola badan usaha milik desa adalah dalam rangka memberdayakan masyarakat perdesaan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam merencanakan dan mengelola pembangunan perekonomian desa, serta dalam rangka   mewujudkan kelembagaan perekonomian masyarakat perdesaan yang mandiri dan tangguh untuk memberikan pelayanan kebutuhan masyarakat.

Badan Usaha Milik Desa, yang selanjutnya disebut BUMDes, adalah usaha desa yang dibentuk/didirikan oleh pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat.

BAB II . PRINSIP, MAKSUD DAN TUJUAN


Prinsip-prinsip pembentukan BUMDes adalah sebagai berikut :
a.       sukarela dan terbuka;
b.      kontrol dari warga yang demokratis;
c.       partisipatif ekonomi warga;
d.      otonomi dan independen;
e.       perhatian terhadap warga marga masyarakat; dan
f.        kerjasama antar BUMDes.


Maksud dibentuknya BUMDes adalah untuk menumbuhkembangkan kegiatan perekonomian desa. Tujuan dibentuknya BUMDes adalah untuk meningkatkan kemampuan keuangan pemerintah desa dalam penyelenggaraan pemerintahan dan meningkatkan pendapatan masyarakat.


BAB III. PEMBENTUKAN

Mekanisme pembentukan BUMDes dilakukan melalui tahap:
a.       rencana pembentukan BUMDes dimusyawarahkan pemerintah desa dengan BPD; dan
b.      hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada huruf a yang telah disetujui bersama antara Pemerintah Desa dan BPD ditetapkan dalam Peraturan Desa.
c.       Peraturan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b sekurang-kurangnya memuat: maksud dan tujuan,nama dan kedudukan; bentuk badan hukum; kepengurusan; hak dan kewajiban; permodalan; bagi hasil usaha; kepailitan; kerjasama; pelaporan; mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban; dan  pembubaran.


BAB IV PENGELOLAAN


Organisasi pengelola BUMDes terpisah dari organisasi pemerintahan desa.BUMDes harus berbadan hukum. Pengelolaan BUMDes dilakukan dengan persyaratan:
a.       pengurus yang berpengalaman dan/atau profesional;
b.      mendapat pembinaan manajemen;
c.       mendapat pengawasan secara internal maupun eksternal;
d.      menganut prinsip transparansi, akuntabel, partisipatif, berkelanjutan dan akseptabel; dan
e.       melayani kebutuhan masyarakat dengan baik dan adil.

Pengelolaan BUMDes berdasarkan pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Anggaran dasar memuat paling sedikit rincian nama, tempat kedudukan, maksud dan tujuan, kepemilikan modal, kegiatan usaha, dan kepengurusan. Anggaran rumah tangga memuat paling sedikit hak dan kewajiban pengurus, masa bakti kepengurusan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian pengurus, penetapan operasional jenis usaha, tata cara pertanggungjawaban dan sumber permodalan.


BAB V JENIS USAHA DAN PERMODALAN

Jenis-jenis usaha BUMDes meliputi:
a.       jasa;
b.      penyaluran sembilan bahan pokok;
c.       perdagangan hasil pertanian; dan/atau
d.      industri kecil dan rumah tangga.

Modal BUMDes berasal dari:
a.       pemerintah desa;
b.      tabungan masyarakat;
c.       bantuan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten;
d.      pinjaman; dan/atau
e.       kerja sama usaha dengan pihak lain.


BAB VI BAGI HASIL USAHA

Bagi hasil usaha BUMDes dilakukan berdasarkan keuntungan bersih usaha. dan dipergunakan untuk :
a.       cadangan modal usaha;
b.      deviden bagi pemilik modal;
c.       jasa produksi; dan
d.      dana sosial.               
                           

BAB VII KERJASAMA


BUMDes dapat melakukan kerjasama usaha dengan BUMDes lain dan pihak ketiga. Kerjasama usaha dapat dilakukan dalam satu kecamatan atau antar kecamatan dalam satu kabupaten. Kerjasama harus mendapat persetujuan masing-masing pemerintahan desa.
Kerjasama usaha dibuat dalam naskah perjanjian kerjasama. Naskah perjanjian kerjasama paling sedikit memuat: subyek kerjasama; obyek kerjasama; jangka waktu; hak dan kewajiban; pendanaan; keadaan memaksa; penyelesaian permasalahan; dan pengalihan.


BAB XII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Bupati melakukan pembinaan, monitoring, evaluasi,  upaya pengembangan manajemen dan sumber daya manusia serta prakarsa dalam permodalan yang ada di perdesaan.
Pengawasan terhadap pengelolaan BUMDes dilakukan oleh Badan Pengawas. Badan Pengawas terdiri dari unsur pemerintah desa dan lembaga kemasyarakatan desa yang ditetapkan dengan Keputusan kepla Desa. Badan Pengawas mempunyai masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk masa jabatan berikutnya.